Jumat, 26 Maret 2010

Memilih Masa Depan NU

Tulisan ini dibuat saat Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makassar memasuki babak akhir. Pemilihan Ketua Umum sebentar lagi dimulai. Penulis tidak terlalu tertarik dengan dinamika yang berkembang. Tentang siapa yang bakal jadi Ketua Umum dan sebagainya, adalah hal yang biasa-biasa saja bagi penulis. Hanya karena NU telah menjadi milik bangsa Indonesia saja, maka penulis tak bisa lepas dari kepedulian -- atau setidaknya merasa perlu untuk sedikit menyampaikan unek-uneknya.
Mungkin terdorong oleh darah NU yang mengalir dari kedua orang tua penulis. Ibu adalah seorang 'NU tulen' asal Jawa Timur, Surabaya. Bapak penulis adalah simpatisan NU dari Kuningan - Jawa Barat, dan menjadi salah seorang pendukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan) di era tahun 1970-an. Masih teringat, saat Pemilu 1977, Bapakku "dikejar-kejar" oknum partai berkuasa dan oknum koramil (komando rayon militer) waktu itu, hingga dia harus bersembunyi di atap rumah. Kenangan itu masih teringat hingga kini. Maklum, provokasi dan intimidasi dalam kehidupan politik masih kental di grass-root kala itu.
Mungkin pengalaman masa kecil yang "traumatis" seperti itu, membuat penulis agak mengambil jarak dengan politik. Perjalanan politik penulis lebih ditujukan ke proses internalisasi ideologi politik. Penulis merasa lebih tertarik untuk menjadi pemerhati dan perenung pemikiran-pemikiran politik.
Masa-masa di Sekolah Dasar, sebagaimana anak-anak lainnya, dihabiskan untuk belajar di Sekolah dan di Madrasah. Penulis menambahnya dengan pendidikan di surau. Kala itu, aktivitas mengaji di surau masih primadona anak-anak sebaya. Mungkin karena belum banyak acara sinetron atau televisi -- yang menyedot warga di saat prime-time pukul 19.00 s.d. 21.00. Menjadi Juara MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur'an) tingkat desa adalah salah satu kebahagiaan masa kecil. Hadiah Kitab Al'Qur'an masih tersimpan hingga kini.
Memasuki masa-masa SMP, penulis mulai tertarik dengan pemikiran-pemikiran nasionalisme yang diusung oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional. Buku "Di Bawah Bendera Revolusi" karya Ir. Soekarno, Presiden pertama RI, menjadi menu harian waktu itu.
Sehabis pulang sekolah, pergi ke Pesantren dekat rumah yang dipimpin oleh Alm KH Idris Anwar (semoga Allah melapangkan alam kuburnya), seorang pengikut Jamaah Syahadatain yang berpusat daerah Panguragan - Cirebon. Salah satu Jamaah Salafiyah yang dipimpin oleh Alm KH AbahUmar -- (nama lengkapnya penulis tak tahu), sebagai Santri -- kami hanya menyebutnya "Abah Umar" saja. Yang khas, jamaah itu selalu memakai Jubah Putih dalam setiap sholatnya. Satu hal yang teringat, di tengah seluruh Jamaah yang berkumpul yang senantiasa berpakaian jubah putih itu, penulis tetap memakai sarung batik dan baju warna-warni.
Penulis senang menjadi semacam asisten kyai waktu itu. Tiap shubuh, Sang Kyai mengajarkan kitab kuning. Penulis selalu mendapat kesempatan pertama melafazkan kembali apa yang diajarkan beliau. Setelah penulis selesai, selanjutnya giliran santri lain yang melapazkan pengajaran tersebut. Tugas penulis adalah mendengarkan dan mengoreksi bacaan santri lain. Metode pengajaran seperti itu di dunia pesantren dikenal dengan metode "sorogan".
Kenangan indah lainnya, di pesantren itu pula, di sela-sela penantian waktu sholat dhuhur dan ashar, atau sholat ashar ke sholat maghrib, penulis tertarik untuk menghafalkan "Piagam PBB" -- yakni Declaration of Human Rights, Dekralasi Hak Azasi Manusia yang dicetuskan oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa (United Nation Organization). Meski tidak sepenuhnya memahami isinya, setidaknya melapazkan dokumen PBB dalam Bahasa Inggris tersebut sama menariknya dengan melapazkan kitab kuning dalam Bahasa Arab.
Masa-masa memahami pemikiran politik terus berlanjut hingga SMA. Semangat dakwah yang diilhami oleh gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, pimpinan Hasan Albanna, begitu kental mempengaruhi pemikiran penulis. Buku-buku Hasan Al Banna dan Said Hawwa, lalu Yusuf Qordhowi, menjadi sala satu menu harian di Sekolah, di samping berkutat dengan buku-buku pelajaran di SMA. Gairah islami tercermin dalam aktivitas penulis. Menjadi Khatib di setiap Khutbah Jumat dan menjadi Pengurus Masjid adalah episode yang begitu berpengaruh dalam perjalanan pemikiran berikutnya.
Selain itu, menjadi Ketua Bidang Ketaqwaan terhadap Tuhan YME di OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) dan akhirnya menjadi Ketua Umum Majelis Pewakilan Kelas OSIS SMA - setelah gagal menjadi Ketua Umum OSIS, merupakan cerminan gairah berorganisasi yang cukup tinggi waktu itu. Tak sadar, rupanya penulis masuk "radar" organisasi partai berkuasa, yakni Golongan Karya (Golkar - waktu itu tidak disebut "partai"). Setelah diikutkan dalam suatu orientasi pendidikan politik tertentu, Penulis dinobatkan menjadi "Kader Fungsional Golkar Terbaik" tahun 1987 oleh Walikota Cirebon- HM Dasawarsa (alm).
Selepas SMA, masuk kuliah. Di sinilah terjadi persinggungan banyak aliran politik dan ideologi. Kelompok sosialis beraliran kiri, kelompok agama berorientasi masjid, dan sebagainya. Sangat pluralis dan dinamis. Ini adalah tahap yang paling "seru", merupakan tahap pencarian yang paling intensif. Semua aliran pemikiran dibahas dan dicari "titik-temu".
Ini adalah era dimana tokoh besar dikunjungi dan diajak diskusi. Para Profesor filsafat diajak debat. Para Teologis diajak diskusi, terkadang harus menempuh jarak belasan kilometer. Masih teringat ketika harus menelusuri desa kecil bernama Cihanjuang di selatan Bandung -- tinggal di dekat perkebunan teh yang sejuk, bertemu seorang Professor Teknik Kimia kelahiran Amerika, fasih bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa Belanda dan bahasa Ibrani, pemegang 5 gelar Doktor bidang filsafat, seorang pendeta dan pengkhotbah kristiani.
Salah satu percakapan masih teringat hingga kini, "Prof, kenapa anda tidak tertarik mendalami Al-Qur'an?", ujar penulis polos. "Mhmmh.., saya sudah coba pelajari, tapi saya lihat al-qur'an itu punya kelemahan..". Penulis tak sabar, "apa itu?", penasaran. "Karena, semua cerita atau kisah di Al-qur'an itu tak ada kronologisnya, tak ada tanggal dan tahun-nya, sehingga sulit bagi saya untuk membuktikan kebenaran historisnya", ujar Profesor itu yakin. Tentu saja penulis mencoba berargumentasi, "Prof, bukankah itu kelebihannya? Bukankah itu artinya Al-Qur'an itu abadi? Artinya dia bersifat 'nir-waktu'. Jadi yang penting adalah "pelajaran-nya" bukan "kapan terjadinya". Diskusi pun tetap berlangsung akrab di sela-sela seruputan teh hijau yang nikmat.
Ada beberapa tokoh nasional yang masuk "radar" memori Penulis saat masih kuliah di Bandung (1988-1996). Tokoh yang cukup inspiratif bagi penulis waktu itu -- adalah Alm KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika itu, di awal tahun 1990-an Gus Dur sebagai Ketua Umum PB NU bekerja sama dengan Bank Summa -- mendirikan Bank Nusumma, sebagai bank-nya kaum nahdlyin -- konon bertekad membangun 1000 BPR (Bank Perkreditan Rakyat) bagi Warga NU. Penulis merasa salut dengan gebrakan Gus Dur tersebut, dan spontan menulis artikel di Surat Kabar lokal waktu itu, dengan judul artikel "Santri Berdagang".
Meski tidak pernah berinteraksi secara langsung, kiprah Gus Dur terus dipelajari dan dipahami, hingga beliau menjadi Presiden RI ke-empat. Penulis berbahagia diberi kesempatan menjenguk sendirian beliau di saat sakitnya, yakni tanggal 5 September 2009, pukul 5 pagi sehabis subuh di Ciganjur. Tak kuasa haru, melihat orang besar, mantan Presiden RI terkulai lemah di lantai mushola-nya, sambil memeluk bantal. Penulis mendekat. Mencium tangan. Hati berkhidmat. Tak banyak kata. Sambil terus berdoa dan meminta doa. Penulis secara subjektif dan sederhana memaknai pertemuan ini sebagai Hadiah Ulang Tahun yang ke-40, karena sehari sebelum Penulis tepat berusia 40 tahun. Terima kasih Gus Dur..
Salah satu tokoh lain yang dekat di hati Penulis sejak kuliah di Bandung adalah KH Said Aqil Siradj. Seorang tokoh sekaligus pengelola Pesantren di Ciwaringin - daerah Cirebon yang pemikirannya luas. Meski tidak pernah berdiskusi langsung dengan Said Aqil, tetapi penulis cukup memahami pemikirannya, dan tentunya merasa didekatkan dengan dirinya (dalam hal pemikiran).
Betapa gembiranya ketika penulis melanjutkan tulisan ini, yang sempat tertunda kemarin, karena harus mencari teman satu lagi bagi Pembantu di rumah, yang kebetulan kakak kandungnya sendiri di Bogor daerah Gunung Bunder -- yang punya anak yatim, sambil mengajak anak-anak jalan-jalan ke sana.
Gembira karena paginya membaca running text di stasiun TV swasta dan membaca detik.com, bahwa KH Said Aqil Siradj terpilih menjadi Ketua Umum PB NU 2010-2014. Selamat bagi kaum Nahdliyin yang telah memilih dan menentukan masa depan NU melalui kepemimpinan Said Aqil..
Penulis sebetulnya masih belum paham, hubungan seperti apa yang terjalin antara Penulis dengan NU. Penulis merasa sangat dekat dengan NU, tetapi bukan anggota apalagi aktivis NU. Sesuatu yang indah untuk dirasakan, tetapi sulit untuk didefinisikan, bukan?

3 komentar:

  1. aku salut sama penulis ini karna tulisa nnya khas jadi enak dibaca ,sesuatu yang bagus ,bukan

    BalasHapus
  2. Ass.. maaf mas iwan. kalau saya cermati kisah yang anda tulis. mas iwan pernah berguru dengan KH. idris Anwar seorang jama'ah asysyahadatain pimpinan Habib Umar bin ismail bin yahya (abah Umar). abah umar bukan seorang kyai seperti yang penulis sebutkan. para jama'ah asysyahadatain menyebutnya sekhunal mukarrom, sayyidul mu'arofah, mursyid kamil, Qutbul Aqtob. Mungkin mas iwan mengenal guru besar Abah Umar cuma sebatas nama. Tidak mendalami ilmu yang sangat luar biasa dahsyat dari Beliau (khawasul khawas).

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, sepertinya begitu mas, saya memang hanya mengenal foto dan nama beliau, maklum waktu masih SMP, masih ABG jadi belajar itu yaa..baru semangatnya saja (ghirah), jadi belum mendalami, belum faham, terima kasih mas atas penjelasannya, semoga kita selalu mendapat berkah dan kebaikan yang berlimpah-limpah. kalau boleh tahu, perkembangan jama'ah itu sekarang? semoga semakin berkembang...

      Hapus