Jumat, 26 Maret 2010

Memilih Masa Depan NU

Tulisan ini dibuat saat Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makassar memasuki babak akhir. Pemilihan Ketua Umum sebentar lagi dimulai. Penulis tidak terlalu tertarik dengan dinamika yang berkembang. Tentang siapa yang bakal jadi Ketua Umum dan sebagainya, adalah hal yang biasa-biasa saja bagi penulis. Hanya karena NU telah menjadi milik bangsa Indonesia saja, maka penulis tak bisa lepas dari kepedulian -- atau setidaknya merasa perlu untuk sedikit menyampaikan unek-uneknya.
Mungkin terdorong oleh darah NU yang mengalir dari kedua orang tua penulis. Ibu adalah seorang 'NU tulen' asal Jawa Timur, Surabaya. Bapak penulis adalah simpatisan NU dari Kuningan - Jawa Barat, dan menjadi salah seorang pendukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan) di era tahun 1970-an. Masih teringat, saat Pemilu 1977, Bapakku "dikejar-kejar" oknum partai berkuasa dan oknum koramil (komando rayon militer) waktu itu, hingga dia harus bersembunyi di atap rumah. Kenangan itu masih teringat hingga kini. Maklum, provokasi dan intimidasi dalam kehidupan politik masih kental di grass-root kala itu.
Mungkin pengalaman masa kecil yang "traumatis" seperti itu, membuat penulis agak mengambil jarak dengan politik. Perjalanan politik penulis lebih ditujukan ke proses internalisasi ideologi politik. Penulis merasa lebih tertarik untuk menjadi pemerhati dan perenung pemikiran-pemikiran politik.
Masa-masa di Sekolah Dasar, sebagaimana anak-anak lainnya, dihabiskan untuk belajar di Sekolah dan di Madrasah. Penulis menambahnya dengan pendidikan di surau. Kala itu, aktivitas mengaji di surau masih primadona anak-anak sebaya. Mungkin karena belum banyak acara sinetron atau televisi -- yang menyedot warga di saat prime-time pukul 19.00 s.d. 21.00. Menjadi Juara MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur'an) tingkat desa adalah salah satu kebahagiaan masa kecil. Hadiah Kitab Al'Qur'an masih tersimpan hingga kini.
Memasuki masa-masa SMP, penulis mulai tertarik dengan pemikiran-pemikiran nasionalisme yang diusung oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional. Buku "Di Bawah Bendera Revolusi" karya Ir. Soekarno, Presiden pertama RI, menjadi menu harian waktu itu.
Sehabis pulang sekolah, pergi ke Pesantren dekat rumah yang dipimpin oleh Alm KH Idris Anwar (semoga Allah melapangkan alam kuburnya), seorang pengikut Jamaah Syahadatain yang berpusat daerah Panguragan - Cirebon. Salah satu Jamaah Salafiyah yang dipimpin oleh Alm KH AbahUmar -- (nama lengkapnya penulis tak tahu), sebagai Santri -- kami hanya menyebutnya "Abah Umar" saja. Yang khas, jamaah itu selalu memakai Jubah Putih dalam setiap sholatnya. Satu hal yang teringat, di tengah seluruh Jamaah yang berkumpul yang senantiasa berpakaian jubah putih itu, penulis tetap memakai sarung batik dan baju warna-warni.
Penulis senang menjadi semacam asisten kyai waktu itu. Tiap shubuh, Sang Kyai mengajarkan kitab kuning. Penulis selalu mendapat kesempatan pertama melafazkan kembali apa yang diajarkan beliau. Setelah penulis selesai, selanjutnya giliran santri lain yang melapazkan pengajaran tersebut. Tugas penulis adalah mendengarkan dan mengoreksi bacaan santri lain. Metode pengajaran seperti itu di dunia pesantren dikenal dengan metode "sorogan".
Kenangan indah lainnya, di pesantren itu pula, di sela-sela penantian waktu sholat dhuhur dan ashar, atau sholat ashar ke sholat maghrib, penulis tertarik untuk menghafalkan "Piagam PBB" -- yakni Declaration of Human Rights, Dekralasi Hak Azasi Manusia yang dicetuskan oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa (United Nation Organization). Meski tidak sepenuhnya memahami isinya, setidaknya melapazkan dokumen PBB dalam Bahasa Inggris tersebut sama menariknya dengan melapazkan kitab kuning dalam Bahasa Arab.
Masa-masa memahami pemikiran politik terus berlanjut hingga SMA. Semangat dakwah yang diilhami oleh gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, pimpinan Hasan Albanna, begitu kental mempengaruhi pemikiran penulis. Buku-buku Hasan Al Banna dan Said Hawwa, lalu Yusuf Qordhowi, menjadi sala satu menu harian di Sekolah, di samping berkutat dengan buku-buku pelajaran di SMA. Gairah islami tercermin dalam aktivitas penulis. Menjadi Khatib di setiap Khutbah Jumat dan menjadi Pengurus Masjid adalah episode yang begitu berpengaruh dalam perjalanan pemikiran berikutnya.
Selain itu, menjadi Ketua Bidang Ketaqwaan terhadap Tuhan YME di OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) dan akhirnya menjadi Ketua Umum Majelis Pewakilan Kelas OSIS SMA - setelah gagal menjadi Ketua Umum OSIS, merupakan cerminan gairah berorganisasi yang cukup tinggi waktu itu. Tak sadar, rupanya penulis masuk "radar" organisasi partai berkuasa, yakni Golongan Karya (Golkar - waktu itu tidak disebut "partai"). Setelah diikutkan dalam suatu orientasi pendidikan politik tertentu, Penulis dinobatkan menjadi "Kader Fungsional Golkar Terbaik" tahun 1987 oleh Walikota Cirebon- HM Dasawarsa (alm).
Selepas SMA, masuk kuliah. Di sinilah terjadi persinggungan banyak aliran politik dan ideologi. Kelompok sosialis beraliran kiri, kelompok agama berorientasi masjid, dan sebagainya. Sangat pluralis dan dinamis. Ini adalah tahap yang paling "seru", merupakan tahap pencarian yang paling intensif. Semua aliran pemikiran dibahas dan dicari "titik-temu".
Ini adalah era dimana tokoh besar dikunjungi dan diajak diskusi. Para Profesor filsafat diajak debat. Para Teologis diajak diskusi, terkadang harus menempuh jarak belasan kilometer. Masih teringat ketika harus menelusuri desa kecil bernama Cihanjuang di selatan Bandung -- tinggal di dekat perkebunan teh yang sejuk, bertemu seorang Professor Teknik Kimia kelahiran Amerika, fasih bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa Belanda dan bahasa Ibrani, pemegang 5 gelar Doktor bidang filsafat, seorang pendeta dan pengkhotbah kristiani.
Salah satu percakapan masih teringat hingga kini, "Prof, kenapa anda tidak tertarik mendalami Al-Qur'an?", ujar penulis polos. "Mhmmh.., saya sudah coba pelajari, tapi saya lihat al-qur'an itu punya kelemahan..". Penulis tak sabar, "apa itu?", penasaran. "Karena, semua cerita atau kisah di Al-qur'an itu tak ada kronologisnya, tak ada tanggal dan tahun-nya, sehingga sulit bagi saya untuk membuktikan kebenaran historisnya", ujar Profesor itu yakin. Tentu saja penulis mencoba berargumentasi, "Prof, bukankah itu kelebihannya? Bukankah itu artinya Al-Qur'an itu abadi? Artinya dia bersifat 'nir-waktu'. Jadi yang penting adalah "pelajaran-nya" bukan "kapan terjadinya". Diskusi pun tetap berlangsung akrab di sela-sela seruputan teh hijau yang nikmat.
Ada beberapa tokoh nasional yang masuk "radar" memori Penulis saat masih kuliah di Bandung (1988-1996). Tokoh yang cukup inspiratif bagi penulis waktu itu -- adalah Alm KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika itu, di awal tahun 1990-an Gus Dur sebagai Ketua Umum PB NU bekerja sama dengan Bank Summa -- mendirikan Bank Nusumma, sebagai bank-nya kaum nahdlyin -- konon bertekad membangun 1000 BPR (Bank Perkreditan Rakyat) bagi Warga NU. Penulis merasa salut dengan gebrakan Gus Dur tersebut, dan spontan menulis artikel di Surat Kabar lokal waktu itu, dengan judul artikel "Santri Berdagang".
Meski tidak pernah berinteraksi secara langsung, kiprah Gus Dur terus dipelajari dan dipahami, hingga beliau menjadi Presiden RI ke-empat. Penulis berbahagia diberi kesempatan menjenguk sendirian beliau di saat sakitnya, yakni tanggal 5 September 2009, pukul 5 pagi sehabis subuh di Ciganjur. Tak kuasa haru, melihat orang besar, mantan Presiden RI terkulai lemah di lantai mushola-nya, sambil memeluk bantal. Penulis mendekat. Mencium tangan. Hati berkhidmat. Tak banyak kata. Sambil terus berdoa dan meminta doa. Penulis secara subjektif dan sederhana memaknai pertemuan ini sebagai Hadiah Ulang Tahun yang ke-40, karena sehari sebelum Penulis tepat berusia 40 tahun. Terima kasih Gus Dur..
Salah satu tokoh lain yang dekat di hati Penulis sejak kuliah di Bandung adalah KH Said Aqil Siradj. Seorang tokoh sekaligus pengelola Pesantren di Ciwaringin - daerah Cirebon yang pemikirannya luas. Meski tidak pernah berdiskusi langsung dengan Said Aqil, tetapi penulis cukup memahami pemikirannya, dan tentunya merasa didekatkan dengan dirinya (dalam hal pemikiran).
Betapa gembiranya ketika penulis melanjutkan tulisan ini, yang sempat tertunda kemarin, karena harus mencari teman satu lagi bagi Pembantu di rumah, yang kebetulan kakak kandungnya sendiri di Bogor daerah Gunung Bunder -- yang punya anak yatim, sambil mengajak anak-anak jalan-jalan ke sana.
Gembira karena paginya membaca running text di stasiun TV swasta dan membaca detik.com, bahwa KH Said Aqil Siradj terpilih menjadi Ketua Umum PB NU 2010-2014. Selamat bagi kaum Nahdliyin yang telah memilih dan menentukan masa depan NU melalui kepemimpinan Said Aqil..
Penulis sebetulnya masih belum paham, hubungan seperti apa yang terjalin antara Penulis dengan NU. Penulis merasa sangat dekat dengan NU, tetapi bukan anggota apalagi aktivis NU. Sesuatu yang indah untuk dirasakan, tetapi sulit untuk didefinisikan, bukan?

Sabtu, 20 Maret 2010

In Teroria Progressio?

Periode 1988 - 1998 boleh dibilang tahun pergolakan sekaligus kegelisahan. Baik secara spiritual maupun intelektual. Delapan tahun lamanya, dari periode tersebut dihabiskan semasa kuliah. Penulis seperti dilanda pertanyaan-pertanyaan setiap saat keraguan tiba. Pencarian "makna" seolah mengganti pencarian "makan". Tak ada aktivitas yang lebih asik selain diskusi dan mengguncang kemapanan. Semua ditertawakan, termasuk menertawakan diri sendiri. Melawan arus pemikiran utama, seakan menjadi hobi di sore hari, sambil menikmati teh dan pisang goreng di sebuah kontrakkan di Kota Bandung.
Setiap berita dianalisa. Dicari rujukan bagaimana mestinya. Setiap mazhab dipertanyakan, seakan mencari "benang-merah"-nya. Setiap kata mutiara, peribahasa dan ajaran, seakan dicari maknanya. Bila perlu dimaknai dengan makna baru atau perspektif baru.
Salah satunya adalah apa yang menjadi semboyan atau motto kampus almamater waktu itu. "In Harmonia Progressio", yang arti bebasnya: "Dalam situasi harmoni, kita raih kemajuan!". Harmoni dianggap sebagai keselarasan, yang berbuah kedamaian dan keindahan. Harmoni adalah keteraturan dan keseimbangan atas tarikan-tarikan kepentingan. Keluarga harmonis sering dimaknai sebagai keluarga rukun, damai dan tenang.
Tetapi, sore itu seakan makna itu dipertanyakan, atau mungkin terasa usang. Apa betul? Mengapa untuk maju kita perlu "harmonis"? Apakah memang sulit untuk maju jika kita hidup di lingkungan yang tak harmonis?
Seringkali kita terlanjur menerima apa saja yang kita anggap atau rasakan benar. Padahal belum tentu benar, atau jangan-jangan ada dibaliknya sebuah pemahaman baru yang "lebih benar". Hidup seakan selalu perlu justifikasi dan pembenaran. Jika kita bergerak lambat, seringkali "dibenarkan" dengan pepatah "alon-alon waton kelakon" atau "biar lambat asal terlaksana, atau biar lambat asal selamat". Kita sering mencari pembenaran atas apa yang kita lakukan dengan sesuatu yang belum tentu benar atau tepat.
Seperti halnya adagium "In Harmonia Progressio" tersebut. Seolah kemajuan adalah sesuatu yang harus diwujudkan secara bersyarat: Kemajuan hanya bisa dicapai bila situasi damai dan harmonis. Padahal, dimanakah "kedamaian" itu? Dimanakah "harmonis" itu?.
Tiap hari, kita diberondong informasi yang tak kita inginkan atau tak sesuai kebutuhan. Acara TV yang maksudnya hiburan, malah bikin jengkel. Ruang publik kita didominasi oleh figur yang jauh dari teladan akal sehat. Jurnalisme negatif merajalela. Teror dimana-mana.
Tetapi, haruskah kita kalah dan menyerah oleh semua teror itu? Terorisme berkedok agama, hanya secuil aksi teror yang sebetulnya lebih mudah dilacak. Intelijen dan Densus 88 kita yakin sanggup menjadi andalan. Tetapi teror yang tak kalah menghantui adalah: lingkungan terdekat yang kadang tak terdeteksi, sehingga kita abai atas semua solusi. Membuat kita tak berdaya.
Kekerasan dalam Rumah Tangga: Suami ke Istri, Istri ke Suami, Orang Tua ke Anak dan sebaliknya, adalah fenomena teror yang sangat dekat dengan kita.
Penulis mengajak pada dirinya, agar menghindarkan diri dan keluarganya dari hal-hal sedemikian. Setidaknya untuk terus bertekad menghadapi teror dimana pun, atas nama apa pun, oleh siapa pun, agar tetap maju dan menjadi insan yang sesuai dengan tujuan awal penciptaan. Sehingga: berlakulah adagium baru, "In Teroria Progressio". Arti bebasnya, meski teror ada dimana-mana, kita harus tetap maju dan bahagia.
Sesuatu yang mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan, bukan?

Sabtu, 13 Maret 2010

Manusia Berencana, Tuhan Menentukan?

Tersebutlah seorang Janda. Usianya sekitar 55 tahun. Sepanjang hidupnya ia telah menikah 3 kali. Dua bercerai mati, satu karena tak cocok lagi. Menurutnya, hanya suami pertama yang ia merasa jatuh hati. Semacam ada cinta sejati, selebihnya cinta itu seakan pergi. Menikah selanjutnya menjadi semacam solusi untuk keluar dari himpitan ekonomi.
Sang Janda terus berlari. Mencari tambatan hati. Merindukan suami, tempat berlabuh mengusir sepi. Meraih mimpi dan bahagia, di sisa-sisa hari.
Hingga suatu hari. Ia bertemu dengan seorang lelaki. Duda usia sebaya di tepi senja. Persis seperti idaman hati. Bahagia pun datang tak terperi. Gayung bersambut. Keduanya mantap memadu hati. Menikah lagi. Konon, persiapan pun mulai tersosialisasi.
Tetapi, tak ada hujan dan tak ada angin. Terjadilah dialog kurang lebih seperti ini:

Duda : "Ibu, maafkan saya, karena tak sanggup melanjutkan rencana ini.."
Janda : "Oh ya, mengapa?"
Duda : "Anak saya tak menyetujui.."
Janda : "Mengapa jadi begini?"
Duda : "Ibu, maafkan saya, --Manusia Berencana, Tuhan Menentukan.."
Janda : "???????" -- bingung dan sedih setengah mati.

Penulis tergugah mendengar cerita asli. Sebuah ungkapan yang mengundang tanya: "Benarkah Manusia Berencana, Tuhan Menentukan?".
Mengapa seringkali, kita menjadikan Tuhan sebagai ALIBI. Untuk menutupi kekurangan dan kesalahan diri. Dalam kasus lain, sering kita mengucapkan: "Nasib, Rejeki, Jodoh dan Mati di Tangan Tuhan", seolah-olah urusan lain tidak di Tangan Tuhan. Bukankah jika sudah disandarkan kepada Tuhan, semua urusan ada dalam genggaman DIA?
Seringkali dalam berencana dan memulai sesuatu, kita tidak menyadari keterlibatan Tuhan, tetapi jika rencana tersebut tidak memberikan hasil sesuai harapan, maka Tuhan seolah berperan sebagai penentu. Padahal, saat kita berencana, bukankah Tuhan juga berperan membuat kita sanggup berencana? Maha Suci Dia untuk berperilaku seperti yang dibayangkan makhluk-Nya.
Penulis kemudian melanjutkan perenungannya. Beberapa sms panjang dikirim, sekedar menghibur hati Sang Janda dan meneguhkan keyakinan Sang Duda. Mengajak semua untuk kembali kepada niat baik, sambil berusaha mengajak bersikap adil. Sesuatu yang tampak mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan.
Daripada mengatakan "Manusia Merencanakan, Tuhan Menentukan", lebih terasa indah dan memuaskan akal jika kita mengatakan "Manusia Merencanakan, Tuhan Mengabulkan -- (sepanjang rencana tsb dijalankan sesuai dengan kaidah sebab-akibat dan hukum-hukum universal yang telah ditetapkan-Nya). Karena di sisi lain, Tuhan pernah berjanji: "Man Jadda wa Jada", barang-siapa yang bertekad dan bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu, maka dia akan menemukan apa yang diinginkannya (asal dilakukan sesuai "tata-cara"-Nya).
Tuhan Tidak Pernah Ingkar Janji, Bukan?

Kamis, 11 Maret 2010

Dua Pelajaran dari Dua CEO

Hari ini, penulis berkesempatan mewawancarai dua orang CEO. Pagi, pukul 9.00 wib di Hotel Ritz Carlton, Lantai 6, Pacific Place, tepatnya di Resto and Lounge. Dia adalah CEO Bank milik Singapura yang cukup besar. Lalu, pukul 11.00 wib, di tempat berbeda, mendampingi wawancara CEO sebuah Bank milik Malaysia yang juga cukup besar. Yang pertama, posisi penulis adalah mewawancarai langsung, sedangkan yang kedua adalah mendampingi wawancara CEO oleh sebuah majalah perbankan yang cukup terkemuka.
Ada yang menarik. CEO pertama, memiliki pandangan yang unik terkait "life balance", yang menekankan kita pentingnya hidup yang seimbang. Menurut dia, krisis yang terjadi saat ini, adalah akibat tidak seimbangnya kita dalam menjalankan kehidupan ini. Yang mengejutkan, adalah saat ia menguraikan apa yang dimaksud "seimbang".
Awalnya penulis menduga, bahwa yang dimaksud "seimbang" adalah: keseimbangan hidup, antara kehidupan karir dan keluarga, kehidupan pribadi dan sosial, atau yang paling umum -- keseimbangan lahir-batin dan dunia-akhirat.
Ternyata bukan. CEO tersebut kemudian menguraikan, bahwa yang dimaksud "keseimbangan" adalah dalam hal pentingnya kita mengembangkan bakat dan kemampuan kita secara seimbang. Misalnya, jika kita kuat dalam hal "sales and marketing", maka kita juga harus mengimbanginya dengan "risk management", sifat agresif hendaknya "diimbangi" dengan sikap hati-hati (prudent), kemampuan dalam hal berpikir strategis, perencanaan, blue-print, big-picture, future, dan sebagainya - harus pula "diimbangi" dengan kemampuan teknis dan eksekusi, serta kemampuan implementasinya di lapangan.
Pernyataan tersebut cukup menarik. Bagaimana dia meredefinisi konsep keseimbangan hidup. Definisi tersebut seakan tidak menyentuh konsep keseimbangan hidup yang umum kita pahami-- dalam perspektif yang personal dan abstrak, yakni misalnya perihal konsepsi "dunia dan akhirat".
Pagi itu, teh hangat terasa segar, mendengar uraian CEO tersebut. Biskuit kecil pun terasa renyah menemani minum teh dan kopi -- very inspiring. Umumnya definisi "keseimbangan" yang kita miliki begitu abstrak, sulit diukur, dan sulit dilakukan. Lebih parah lagi bila ada elemen waktu dalam pengukuran keseimbangan tersebut, misalnya dalam rangka "life balances" kita membagi waktu 5 hari untuk bekerja, dan 2 hari untuk acara keluarga, dan seterusnya. Sesuatu yang sangat "robotik" dan mekanistis, bukan?
Pada session berikutnya, adalah mendampingi CEO diwawancarai. Di penggalan terakhir interview, CEO sempat sedikit berfilsafat. Ia menyebutkan bahwa sepanjang hidup kita, sulit atau bahkan tidak mungkin kita mengenal diri kita. Setidaknya ada 4 matriks pengetahuan seseorang tentang dirinya.
Pertama, "we are what we are" -- yakni pengetahuan kita tentang siapa kita sebenarnya --kita adalah diri kita sendiri, apa adanya. Ini yang menurutnya kita tidak akan bisa mengenali sepenuhnya.
Kedua, "we are what we think we are" -- yakni diri kita yang kita pahami menurut apa yang kita pikirkan tentang diri kita. Jika kita berpikir kita adalah seseorang yang memiliki sifat dan bakat tertentu, maka sifat dan bakat tertentu itulah yang akan menjadi siapa diri kita yang kita kenali.
Ketiga, "we are what people think we are" -- yakni pengetahuan tentang diri kita yang didasarkan pada apa yang dipikirkan orang lain tentang diri kita, lalu kita mengiyakan pikiran orang tersebut terhadap diri kita.
Keempat, "we are what we think people think we are" -- yakni kita mengetahui diri kita dari apa yang orang lain pikirkan tentang diri kita, sebagai bentuk penerimaan atau pembenaran atas persepsi orang terhadap diri kita.
Pernyataan CEO ini cukup menarik, karena bila dirunut, cara berpikir seperti itu adalah cara berpikir matrix. Khas digunakan oleh para pemikir materialisme, yang selalu membagi eksistensi berdasarkan batasan-batasan material, dalam hal ini: sosok/individu "diri kita" dan pikiran kita, serta "orang lain" dan pikirannya.
Saya tersenyum saja mendengar penjelasan CEO tentang siapa "diri kita" tersebut. Mengapa? karena saya teringat waktu pertama belajar memahami filsafat. Ada satu pernyataan atau ajaran dalam agama yang akan selalu saya ingat sepanjang hidup dan mati, yakni: "fa man 'arofa nafsahu, fa qod 'arofa robbahu...", artinya: "barang siapa mengetahui siapa Dirinya, maka dia akan tahu siapa Tuhan-nya...." Artinya, setiap upaya memahami diri kita dengan cara yang tepat adalah sebuah jalan untuk mengenal Tuhan. Dengan demikian, semakin dekat pemahaman kita tentang diri kita, ini berarti semakin dekat pula kita mengenal siapa Tuhan kita. Oleh karena itu, menarik sekali jika ada pernyataan yang menyebut bahwa kita adalah "Hamba Tuhan", sebuah penyebutan yang paling tepat, bukan?

Selasa, 09 Maret 2010

Mulai Hari Baru

Ini adalah blog-ku. Tempat untuk catat semua cerita, ide, pikiran dan pengalaman terbaik bagi bangsa dan dunia. Setidaknya menurut versi-ku. Cukup lama menyimpan rencana menjadi blogger. Baru kini terwujud. Mohon do'a restu.
Maka dengan ucapan Bismillah, atas nama Tuhan, pemilik segala perspektif, ijinkan aku torehkan untaian kata, sebagai upaya menggali makna, memberi warna tentang indahnya samudra kehidupan, indahnya perbedaan sepanjang mengatas segala kepentingan dan mengikis aneka keserakahan.
Sebuah upaya untuk mengurai benang kusut, agar didapat BENANG MERAH, karena "benang merah" adalah simbol yang dicari akar sehat, untuk membuka tabir pengetahuan yang lebih tinggi. Tatkala "benang merah" mulai tampak, maka jelaslah akal dalam melihat. Kebenaran pun kian dekat. Setidaknya sebuah kesimpulan sementara, menuju keyakinan yang lebih tinggi, mulai terkuak. Barangkali, itu sudah cukup sebagai simbol langkah awal kita sebagai pembelajar.
Benang Merah adalah sebuah analogi. Ia menjadi penghubung dan pemberi makna, atas satu atau beberapa fenomena. Benang Merah berupaya menjawab: apa makna terpendam dan hikmah terdalam yang dapat kita catat dari setiap peristiwa, pengalaman dan pemikiran yang hadir dalam keseharian kita? Benang Merah selanjutnya berupaya membekali peradaban kita dengan sebuah panduan yang mampu menjembatani atau menghubungkan apa yang telah kita lakukan dengan apa yang seharusnya kita lakukan.
Sesuatu yang tidak mudah. Tetapi, cukup berarti untuk diupayakan atau bahkan diperjuangkan, bukan?. Sebab kalau bukan untuk mencari makna dan membuat hidup lebih bermakna, lalu apa?