Kamis, 11 Maret 2010

Dua Pelajaran dari Dua CEO

Hari ini, penulis berkesempatan mewawancarai dua orang CEO. Pagi, pukul 9.00 wib di Hotel Ritz Carlton, Lantai 6, Pacific Place, tepatnya di Resto and Lounge. Dia adalah CEO Bank milik Singapura yang cukup besar. Lalu, pukul 11.00 wib, di tempat berbeda, mendampingi wawancara CEO sebuah Bank milik Malaysia yang juga cukup besar. Yang pertama, posisi penulis adalah mewawancarai langsung, sedangkan yang kedua adalah mendampingi wawancara CEO oleh sebuah majalah perbankan yang cukup terkemuka.
Ada yang menarik. CEO pertama, memiliki pandangan yang unik terkait "life balance", yang menekankan kita pentingnya hidup yang seimbang. Menurut dia, krisis yang terjadi saat ini, adalah akibat tidak seimbangnya kita dalam menjalankan kehidupan ini. Yang mengejutkan, adalah saat ia menguraikan apa yang dimaksud "seimbang".
Awalnya penulis menduga, bahwa yang dimaksud "seimbang" adalah: keseimbangan hidup, antara kehidupan karir dan keluarga, kehidupan pribadi dan sosial, atau yang paling umum -- keseimbangan lahir-batin dan dunia-akhirat.
Ternyata bukan. CEO tersebut kemudian menguraikan, bahwa yang dimaksud "keseimbangan" adalah dalam hal pentingnya kita mengembangkan bakat dan kemampuan kita secara seimbang. Misalnya, jika kita kuat dalam hal "sales and marketing", maka kita juga harus mengimbanginya dengan "risk management", sifat agresif hendaknya "diimbangi" dengan sikap hati-hati (prudent), kemampuan dalam hal berpikir strategis, perencanaan, blue-print, big-picture, future, dan sebagainya - harus pula "diimbangi" dengan kemampuan teknis dan eksekusi, serta kemampuan implementasinya di lapangan.
Pernyataan tersebut cukup menarik. Bagaimana dia meredefinisi konsep keseimbangan hidup. Definisi tersebut seakan tidak menyentuh konsep keseimbangan hidup yang umum kita pahami-- dalam perspektif yang personal dan abstrak, yakni misalnya perihal konsepsi "dunia dan akhirat".
Pagi itu, teh hangat terasa segar, mendengar uraian CEO tersebut. Biskuit kecil pun terasa renyah menemani minum teh dan kopi -- very inspiring. Umumnya definisi "keseimbangan" yang kita miliki begitu abstrak, sulit diukur, dan sulit dilakukan. Lebih parah lagi bila ada elemen waktu dalam pengukuran keseimbangan tersebut, misalnya dalam rangka "life balances" kita membagi waktu 5 hari untuk bekerja, dan 2 hari untuk acara keluarga, dan seterusnya. Sesuatu yang sangat "robotik" dan mekanistis, bukan?
Pada session berikutnya, adalah mendampingi CEO diwawancarai. Di penggalan terakhir interview, CEO sempat sedikit berfilsafat. Ia menyebutkan bahwa sepanjang hidup kita, sulit atau bahkan tidak mungkin kita mengenal diri kita. Setidaknya ada 4 matriks pengetahuan seseorang tentang dirinya.
Pertama, "we are what we are" -- yakni pengetahuan kita tentang siapa kita sebenarnya --kita adalah diri kita sendiri, apa adanya. Ini yang menurutnya kita tidak akan bisa mengenali sepenuhnya.
Kedua, "we are what we think we are" -- yakni diri kita yang kita pahami menurut apa yang kita pikirkan tentang diri kita. Jika kita berpikir kita adalah seseorang yang memiliki sifat dan bakat tertentu, maka sifat dan bakat tertentu itulah yang akan menjadi siapa diri kita yang kita kenali.
Ketiga, "we are what people think we are" -- yakni pengetahuan tentang diri kita yang didasarkan pada apa yang dipikirkan orang lain tentang diri kita, lalu kita mengiyakan pikiran orang tersebut terhadap diri kita.
Keempat, "we are what we think people think we are" -- yakni kita mengetahui diri kita dari apa yang orang lain pikirkan tentang diri kita, sebagai bentuk penerimaan atau pembenaran atas persepsi orang terhadap diri kita.
Pernyataan CEO ini cukup menarik, karena bila dirunut, cara berpikir seperti itu adalah cara berpikir matrix. Khas digunakan oleh para pemikir materialisme, yang selalu membagi eksistensi berdasarkan batasan-batasan material, dalam hal ini: sosok/individu "diri kita" dan pikiran kita, serta "orang lain" dan pikirannya.
Saya tersenyum saja mendengar penjelasan CEO tentang siapa "diri kita" tersebut. Mengapa? karena saya teringat waktu pertama belajar memahami filsafat. Ada satu pernyataan atau ajaran dalam agama yang akan selalu saya ingat sepanjang hidup dan mati, yakni: "fa man 'arofa nafsahu, fa qod 'arofa robbahu...", artinya: "barang siapa mengetahui siapa Dirinya, maka dia akan tahu siapa Tuhan-nya...." Artinya, setiap upaya memahami diri kita dengan cara yang tepat adalah sebuah jalan untuk mengenal Tuhan. Dengan demikian, semakin dekat pemahaman kita tentang diri kita, ini berarti semakin dekat pula kita mengenal siapa Tuhan kita. Oleh karena itu, menarik sekali jika ada pernyataan yang menyebut bahwa kita adalah "Hamba Tuhan", sebuah penyebutan yang paling tepat, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar