Selasa, 20 April 2010

Menjadi Pengamat "Cara Berpikir"

Tanggal 19 April 2010, penulis terlibat diskusi di sebuah blog. Mulanya, sedang mencari artikel tentang imunisasi. Kebetulan, sehari sebelumnya ananda Aira, usia tiga bulan usai diimunisasi hepatitis B, yang malamnya - seperti diprediksi - badannya panas. Blog itu milik seseorang yang seperti gandrung pada tema-tema agama.
Penulis tertarik pada perdebatan yang bertema "Bahaya Imunisasi". Terutama perdebatan antara seorang Dokter berinisial "Y" dan seorang praktisi pengobatan alternatif berinisial "US". Dr. "Y" adalah dokter muda yang santun dan mendukung imunisasi. Sedangkan US agak memprovokasi, bahwa imunisasi itu berbahaya, konspirasi barat, dan punya motif menghancurkan generasi muslim. Keduanya, tentu menggunakan dalil-dalil dan argumentasi yang menurut keduanya kuat dan benar. Perdebatan keduanya tidak ada titik-temu. Tidak ada "benang merah", sehingga diskusi memanas. Tampak sekali, Dr. "Y" sendirian, ia dikeroyok oleh "US" dan pengikutnya -- yang kontra imunisasi dan pro terhadap cara pengobatan Nabi - yakni metode Bekam yang dinamai "thibbunnabawiy" atau "Cara Pengobatan Nabi".

Berikut adalah komentar penulis dalam Blog tersebut:


Bung "Y", dari cara anda berpikir dan berargumentasi, saya salut dan setuju sama anda. Intinya, masalah kedokteran dan kesehatan harus dibahas secara kedokteran dan kesehatan, serta oleh ahlinya. Anda sudah benar dan konsisten. Kesehatan tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara keimanan atau aqidah semata. Kesehatan harus diselesaikan melalui ilmu kesehatan. Sedangkan “US”, sebaiknya anda buktikan konsep/praktek Bekam tersebut dengan melakukan kajian ilmiah dan keunggulan Bekam, bukan dengan melakukan provokasi atau kampanye yang menjelekkan imunisasi. Kalau bisa, jangan bawa-bawa Nabi dulu atau dalil-dalil keagamaan (islam) atau atas-nama Tuhan, karena Nabi sudah wafat dan Tuhan juga tidak bisa kita tanya langsung. Lagipula, Islam kan universal — harus bisa diterima oleh non-muslim juga atau oleh orang yang belum mengenal Nabi Muhammad. Kebenaran universal tidak perlu disandarkan kepada siapa pun, tidak perlu merujuk kepada apa pun. Karena kebenaran universal dapat mudah diterima oleh Akal. Dan Agama itu hanya bagi mereka yang ber-Akal. Ibaratnya, kalau kita ingin mengatakan Al-Qur’an itu Benar, maka jangan kita mengatakan bahwa Al-Qur’an itu Wahyu Allah yang diturunkan ke Nabi Muhammad, karena jika begitu, kita sedang menjelaskan sesuatu dengan sesuatu yang masih perlu penjelasan (bagi orang non-muslim, Tuhan dan Nabi Muhammad masih perlu penjelasan). Jadi, kurang fair namanya. Lebih baik, meyakinkan orang tentang Al-Qur’an dengan cara menunjukkan kebenaran Al-Qur’an itu sendiri (secara logis, menggunakan pengetahuan kita dan lawan bicara kita). Begitu pula dengan Bekam (dan Thibbunnabawiy lainnya), silakan tunjukkan keunggulan metode tersebut, jelaskan metode dan prosesnya, tanpa mengatakan bahwa praktek lain buruk atau jelek atau berbahaya. Sayang sekali, buku yang ditulis “US” — judulnya saja provokasi dan isi-nya pun (dugaan saya, maaf) kompilasi. Ini kurang pas jika kita berargumentasi dengan merujuk pada karya (buku) buatan sendiri. Bahkan, bila perlu sebaiknya jangan mengatakan dulu bahwa itu Metode Nabi. Sebab, kita sama-sama tidak pernah menyaksikan Nabi melakukan hal tersebut. Seandainya benar Nabi melakukannya, kita ‘kan bukan Nabi. Memang kita perlu mengikuti Cara Nabi, tapi harus dengan pengetahuan yang memadai. Lagi pula, jika itu Cara Nabi, apakah Nabi mengambil “keuntungan” dari mengobati umatnya? Apakah Nabi juga mempromosikan cara-caranya mengobati? dan mengatakan bahwa cara pengobatan selain caranya adalah bahaya? Bukankah Cara yang Sama — jika dilakukan oleh Orang yang Berbeda, hasilnya juga belum tentu sama (atau bahkan "pasti berbeda")? Lagi pula, saat Nabi menerapkan "Cara Pengobatan" beliau, yang berperan menyembuhkan adalah "Cara Pengobatan"-nya atau "Yang Mengobati-nya" (yang notabene Hamba Allah yang do'anya selalu makbul)?. Terlebih ini adalah soal terkait dunia kesehatan, mari serahkan segala sesuatu pada Ahlinya. Jadi, mari kita tinggalkan budaya “klaim”, jika kita “benar” tunjukkan saja “kebenaran” kita, jangan menuduh, mengejek, apalagi memfitnah…;
Saya berlindung kepada Allah SWT dari segala bentuk kesesatan pikir dan informasi yang membuat saya was-was dalam dada, dari golongan jin dan manusia…Ammien;
Maaf, saya awam Imunisasi dan awam Bekam. Saya hanya pengamat “cara berpikir” dari Saudara-saudara yang berdiskusi di blog ini. Sebuah "profesi" yang agak jarang kita dengar, bukan?

Rabu, 07 April 2010

Mengapa KORUPSI?

Berita-berita dipenuhi korupsi. Penangkapan, saling tuding antarpetinggi, warnai berita koran, onlen dan televisi. Betapa rusaknya negeri ini. Sedemikian parahkah moral anak negeri. Masih adakah nurani? Adakah jalan lain membangun negeri? Agar terbebas korupsi. Nafas terasa sesak mendengar berita korupsi. Marah dan kesal silih berganti. Berkecamuk dalam hati.
Tetapi, hati punya logikanya sendiri. Ia tidak sendiri. Jauh di lubuk hati, ada kehidupan hakiki. Bahwa mimpi akan kehidupan yang anti-korupsi, akan terwujud suatu hari.
Korupsi adalah kezaliman. Ia adalah lawan keadilan. Jika ingin adil, jauhi korupsi. Mengambil hak orang lain adalah korupsi. Mengambil yang bukan haknya, saat ini dan saat nanti, juga korupsi. Korupsi membuat alam tak seimbang...
Korupsi membuat bencana dan gempa bumi...
Korupsi menghisap energi kemanusiaan..
Korupsi menghambat peradaban manusia...
Korupsi menghalangi karunia Tuhan...
Korupsi merebut rejeki Tuhan...
Korupsi mengorupsi hakikat kemanusiaan..
Korupsi membuat manusia batal menjadi manusia.., karena
Korupsi tidak berperikemanusiaan..
Korupsi membuat manusia di sekitarnya hilang kemanusiaan..
Korupsi lebih kejam dari Fitnah...
Jika Fitnah Lebih Kejam dari Pembunuhan.., maka
Korupsi lebih kejam "kuadrat" dari pembunuhan...kejamnya dua kali lipat..
Korupsi adalah pembeda...antara manusia dan serigala...
Korupsi tidak merugikan satu orang atau satu keluarga..., tetapi
Korupsi merugikan seluruh bangsa...
Korupsi membunuh masa depan bangsa..
Kezaliman adalah Korupsi terhadap Keadilan..
Kekafiran adalah Korupsi terhadap Keimanan..
Kebodohan adalah Korupsi terhadap Kecerdasan...
Kemunafikan adalah Korupsi terhadap Kejujuran..
Kekacauan adalah Korupsi terhadap Kedamaian...
Permusuhan adalah Korupsi terhadap Silaturahmi...
Kesewenangan adalah Korupsi terhadap Kebijaksanaan..
Kemiskinan adalah Korupsi terhadap Kesejahteraan..

Lalu,
Mengapa Korupsi?

Sabtu, 03 April 2010

Audeamus!

Suatu pagi yang cerah. Matahari bersinar. Hangatkan bumi. Selesai bersepeda keliling kompleks rumah, sambil menunggu hidangan yoghurt kesukaan, penulis iseng-iseng browsing di internet. Entah dari mana, tiba-tiba masuk Wikipedia. Ada "daftar frase bahasa latin". Menarik untuk di-klik lebih lanjut.
Mengapa menarik? Penulis teringat waktu sekolah SD dulu. Kelas IV, V dan VI ada dua buku favorit waktu itu, yakni Buku HPU (Himpunan Pengetahuan Umum) -- isinya nyaris hafal -- buku yang mengantarkan penulis menjadi Juara lomba cerdas-cermat, dan Buku saku "Kamus Populer" -- isinya berisi daftar istilah populer -- itu bukan kamus bahasa Inggris-Indonesia atau sebaliknya, tapi semacam kumpulan istilah populer yang diserap dari berbagai bahasa, terutama bahasa Inggris dan Latin.
Salah satu kata atau peribahasa Latin dalam kamus tersebut, yang diingat sampai sekarang adalah " si vis pacem para bellum" yang artinya, jika ingin hidup damai bersiaplah untuk berperang! Pepatah ini mengajarkan kita untuk senantiasa bersiap-siap menghadapi situasi buruk dan mengancam yang dapat mengganggu stabilitas dan ketenangan kita. Sebetulnya ini menjadi semacam doktrin militer. Sebuah ironi yang terus berlangsung hingga kini. Menjadi semacam pembenaran, bahwa untuk menciptakan perdamaian -- kita harus mempersiapkan diri untuk berperang.
Sebuah ironi yang dipertanyakan dalam sebuah lagu qosidah di era 80-an, yang syair-nya berbunyi: "perdamaian..perdamaian..perdamaian..perdamaian.., banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai...bingung..bingung..ku memikirnya".
Kegemaran mengoleksi kata-kata atau istilah Bahasa Latin entah muncul dari mana. Ada semacam kepuasan intelektual, atau kebanggaan tersendiri. Makanya, ketika dalam "browsing" tersebut menemukan "Daftar Ungkapan dalam Bahasa Latin", penulis seakan tak dapat menghentikannnya.
Kata demi kata dibuka. Mulai kata berawalan "A" hingga "V". Entah kenapa, tidak ada kata yang berawalan "X", "Y", dan "Z". Penulis tidak paham, apakah memang kata atau ungkapan berawalan X, Y, dan Z dalam Bahasa Latin tidak ada, atau Wikipedia tidak mencantumkannya.
Ada beberapa kata yang menarik untuk dikutip, antara lain: "In Omnia Paratus". Penulis senang dengan kata ini, yang artinya "Ready for Anything" -- atau "Siap untuk melakukan apa saja". Penulis senang dengan ungkapan latin ini, karena singkat, mudah diingat dan cukup memotivasi, bahwa dalam hidup -- kita harus selalu siap, siap menghadapi tantangan apa pun, suka atau tak suka, mau atau tidak mau. Saking senangnya, penulis jadikan ungkapan ini dalam "status" di BBM (BlackBerry Messenger).
Tetapi, kata demi kata dibuka. Muncul lagi ungkapan "In Somnis Veritas", artinya "dalam setiap mimpi ada kebenaran". Ungkapan ini menarik untuk dijadikan motto, bahwa kita jangan takut bermimpi, karena dalam mimpi-mimpi tersebut pasti terselip nilai kebenaran atau sesuatu yang dapat kita jadikan pedoman. Mimpi-mimpi tersebut akan menuntun kita untuk membuka pemahaman kita akan kebenaran. Jadi teruslah bermimpi, seperti nasihat Nidji -- Group Band yang mempopulerkan lagu "Laskar Pelangi".
Hampir saja ungkapan tersebut dicatat dan dibuatkan di status BBM, mengganti status sebelumnya. Namun, sebelum dilakukan, muncul lagi ungkapan baru, yang tak kalah menarik. "Solvitur Ambulando", bunyinya agak aneh, terutama "ambulando", terdengar kayak "ambulance". Meskipun artinya cukup menarik, "Masalah terselesaikan dengan jalan-jalan". Makna harfiah dan bebasnya, jika kita punya masalah, atau sedang berpikir mencari solusi, maka "berjalan-jalan"-lah. Aktivitas "jalan-jalan" tersebut sangat membantu. Penulis teringat film kartun tempo dulu. Jika aktornya berpikir, biasanya berpikir sambil "mondar-mandir", berjalan kesana-kemari. Lucu juga.
Tetapi, apa ya? Penulis terus mencari ungkapan yang akan dijadikan "mantra" atau "kata sakti". Kata itu harus sederhana, singkat, mudah diingat dan seolah "menjawab kebutuhan" pribadi dalam menjalankan aktivitas harian. Kalau bisa, "mantra" tersebut menjadi "key words" sekaligus menjadi "jembatan mental" yang efektif dalam proses pengambilan keputusan.
Akhirnya, ditemukanlah satu kata itu. "Audeamus!", yang artinya "Let Us Dare", atau "Ayo, Berani!", atau "Mari kita Berani!". Kata ini juga menjadi motto -- Otigo University Students Assosiation, sebuah organisasi mahasiswa sebuah perguruan tinggi di New Zealand.
Keberanian adalah matahari. Keberanian adalah pembeda, antara Pemimpin dan Pengikut. Keberanian menjadi penentu, apakah dia pemenang atau pecundang. Keberanian adalah modal awal untuk menjelajahi dunia. Para Pemberani adalah mereka yang berhasil mengalahkan ketakutan dalam dirinya.
Jika Hidup adalah Pilihan, dan Pengambilan Keputusan adalah tindakan atau perbuatan untuk memilih Pilihan itu, maka Keberanian adalah Modal Pengambilan Keputusan yang yang tepat.
Penulis merasa "terhibur", dengan kata "Audeamus!" tersebut. Ada rasa "plong" setelah menemukan kata ini. Langsung saja dipampang menjadi status BBM penulis.
Begitu pula, Blog ini dibuat, sebuah keputusan untuk menjadi "berani". Audeamus! Berani berbicara, berani menulis, berani berekspresi, berani berbuat dan berani bertanggungjawab.
Sesuatu yang indah untuk memotivasi dan merayakan hari-hari kita, bukan?