Sabtu, 20 Maret 2010

In Teroria Progressio?

Periode 1988 - 1998 boleh dibilang tahun pergolakan sekaligus kegelisahan. Baik secara spiritual maupun intelektual. Delapan tahun lamanya, dari periode tersebut dihabiskan semasa kuliah. Penulis seperti dilanda pertanyaan-pertanyaan setiap saat keraguan tiba. Pencarian "makna" seolah mengganti pencarian "makan". Tak ada aktivitas yang lebih asik selain diskusi dan mengguncang kemapanan. Semua ditertawakan, termasuk menertawakan diri sendiri. Melawan arus pemikiran utama, seakan menjadi hobi di sore hari, sambil menikmati teh dan pisang goreng di sebuah kontrakkan di Kota Bandung.
Setiap berita dianalisa. Dicari rujukan bagaimana mestinya. Setiap mazhab dipertanyakan, seakan mencari "benang-merah"-nya. Setiap kata mutiara, peribahasa dan ajaran, seakan dicari maknanya. Bila perlu dimaknai dengan makna baru atau perspektif baru.
Salah satunya adalah apa yang menjadi semboyan atau motto kampus almamater waktu itu. "In Harmonia Progressio", yang arti bebasnya: "Dalam situasi harmoni, kita raih kemajuan!". Harmoni dianggap sebagai keselarasan, yang berbuah kedamaian dan keindahan. Harmoni adalah keteraturan dan keseimbangan atas tarikan-tarikan kepentingan. Keluarga harmonis sering dimaknai sebagai keluarga rukun, damai dan tenang.
Tetapi, sore itu seakan makna itu dipertanyakan, atau mungkin terasa usang. Apa betul? Mengapa untuk maju kita perlu "harmonis"? Apakah memang sulit untuk maju jika kita hidup di lingkungan yang tak harmonis?
Seringkali kita terlanjur menerima apa saja yang kita anggap atau rasakan benar. Padahal belum tentu benar, atau jangan-jangan ada dibaliknya sebuah pemahaman baru yang "lebih benar". Hidup seakan selalu perlu justifikasi dan pembenaran. Jika kita bergerak lambat, seringkali "dibenarkan" dengan pepatah "alon-alon waton kelakon" atau "biar lambat asal terlaksana, atau biar lambat asal selamat". Kita sering mencari pembenaran atas apa yang kita lakukan dengan sesuatu yang belum tentu benar atau tepat.
Seperti halnya adagium "In Harmonia Progressio" tersebut. Seolah kemajuan adalah sesuatu yang harus diwujudkan secara bersyarat: Kemajuan hanya bisa dicapai bila situasi damai dan harmonis. Padahal, dimanakah "kedamaian" itu? Dimanakah "harmonis" itu?.
Tiap hari, kita diberondong informasi yang tak kita inginkan atau tak sesuai kebutuhan. Acara TV yang maksudnya hiburan, malah bikin jengkel. Ruang publik kita didominasi oleh figur yang jauh dari teladan akal sehat. Jurnalisme negatif merajalela. Teror dimana-mana.
Tetapi, haruskah kita kalah dan menyerah oleh semua teror itu? Terorisme berkedok agama, hanya secuil aksi teror yang sebetulnya lebih mudah dilacak. Intelijen dan Densus 88 kita yakin sanggup menjadi andalan. Tetapi teror yang tak kalah menghantui adalah: lingkungan terdekat yang kadang tak terdeteksi, sehingga kita abai atas semua solusi. Membuat kita tak berdaya.
Kekerasan dalam Rumah Tangga: Suami ke Istri, Istri ke Suami, Orang Tua ke Anak dan sebaliknya, adalah fenomena teror yang sangat dekat dengan kita.
Penulis mengajak pada dirinya, agar menghindarkan diri dan keluarganya dari hal-hal sedemikian. Setidaknya untuk terus bertekad menghadapi teror dimana pun, atas nama apa pun, oleh siapa pun, agar tetap maju dan menjadi insan yang sesuai dengan tujuan awal penciptaan. Sehingga: berlakulah adagium baru, "In Teroria Progressio". Arti bebasnya, meski teror ada dimana-mana, kita harus tetap maju dan bahagia.
Sesuatu yang mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar